Sudah kenal kan dengan yang namanya kapal pinisi? Yup, kapal pinisi merupakan kapal layar tradisional yang berasal dari Suku Bugis di Sulawesi Selatan. Tahu kan kalau orang Bugis dikenal dengan pembuat kapal dan pelaut yang tangguh? Kapal tradisional ini mempunyai dua tiang layar utama dan tujuh buah layar. Tiga layar dipasang di ujung depan, dua layar di bagian depan, dan dua layar lagi dipasang di bagian belakang kapal. Tujuh layar menyimbolkan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia mampu mengarungi tujuh samudera di dunia. Kereenn!!
Ada dua jenis kapal pinisi, jenis pertama adalah Lamba atau Lambo yang merupakan pinisi modern yang sudah dilengkapi dengan motor diesel (mesin). Sementara jenis kedua adalah Palari yang merupakan bentuk awal pinisi dengan ukuran lebih kecil dari Lamba. Umumnya ukuran kapal tidak terlalu besar. Hanya berukuran panjang antara 10-15 meter dengan daya angkut hingga 30 ton saja. Secara fungsional kapal pinisi digunakan untuk mengangkut barang dagangan atau sebagai kapal nelayan untuk mencari ikan. Namun sekarang tidak sedikit yang menggunakan kapal pinisi sebagai kapal pesiar mewah. Sebagai kapal pesiar tentu ukurannya akan jauh lebih besar daripada yang digunakan untuk mengangkut barang.
Tana Beru merupakan tanah leluhur bagi kapal pinisi. Bisa dibilang Tana Beru yang terletak tidak jauh dari Tanjung Bira (hanya 20 menit perjalanan) merupakan sentra pembuatan kapal tradisional ini. Bagi Anda yang traveling ke Tanjung Bira ada baiknya mampir sejenak ke Tana Beru jika punya waktu luang untuk melihat dari dekat proses pembuatan kapal pinisi. Namun kalau tidak sempat, Anda masih punya kesempatan kok melihat pembuatan kapal pinisi. Ya secara tidak sengaja saya menemukan tempat pembuatan kapal pinisi di Tanjung Bira. Tepatnya berada di Dusun Tanetang, Pantai Tanjung Bira Timur. Kerennya, tempat pembuatan kapal berada di bibir pantai. Meskipun tidak sebesar di Tana Beru tapi Anda bisa menikmati keindahan pantai sekaligus melihat dan belajar budaya pembuatan kapal pinisi yang masih tradisional di sini.
Pembuatan kapal pinisi baik di Tanjung Bira dan Tana Beru memang benar-benar masih cukup tradisional dengan bantuan mesin yang masih sangat minim. Dalam proses pembuatannya juga masih mengenal hal-hal mistis. Kapal pinisi dibuat setelah melalui ritual kecil pemotongan lunas yang dipimpin oleh pawang perahu yang disebut Panrita Lopi. Lunas adalah bagian paling dasar pada kapal. Berbagai macam sesajen harus ada dalam ritual ini misalnya saja jajanan yang harus berasa manis dan seekor ayam jago putih. Jajanan dengan rasa manis merupakan simbol keinginan dari pemilik agar kapalnya mendatangkan keuntungan yang banyak. Sementara darah ayam jago putih yang ditempelkan pada lunas merupakan simbol harapan agar nantinya tak ada darah yang tertumpah saat proses pembuatan kapal. Kemudian kepala tukang pembuatan kapal akan memotong lunas yang selanjutnya diserahkan kepada pemimpin pembuatan kapal. Potongan ujung lunas bagian depan akan dibuang ke laut sebagai simbol bahwa kapal akan menyatu dengan lautan. Sementara potongan lunas bagian belakang akan dibuang ke daratan sebagai tanda bahwa saat kapal melaut akan kembali ke daratan. Pada bagian akhir ritual, Panrita Lopi membacakan doa kepada Sang Pencipta.
Melihat proses pembuatan kapal pinisi dari dekat memang sangat mengagumkan. Saat itu di Pantai Tanjung Bira Timur sudah ada bebeerapa kapal yang dibuat dengan ukuran yang berbeda-beda. Mulai dari kapal yang berukuran kecil yang seperti perahu nelayan, kapal berukuran sedang, sampai dengan kapal yang berukuran besar. Karena proses pembuatannya masih tradisional, praktis alat yang digunakan juga masih tradisional. Alat yang menggunakan mesin hanya gergaji mesin yang digunakan untuk memotong kayu-kayu berukuran besar dan mesin penghalus kayu. Dalam proses pembuatan kapal pinisi ada yang namanya Punggawa. Punggawa adalah orang yang memimpin pembuatan kapal. Punggawa haruslah orang yang mengerti secara teknis pembuatan kapal. Dia juga bertanggung jawab terhadap pembagian kerja serta mengarahkan pekerja yang disebut Sawi. Sawi bekerja pada bagiannya masing-masing. Ada yang mengangkat kayu balok dengan ukuran besar, memotong kayu dengan gergaji mesin, memasang kayu pada bagian kapal, menghaluskan body kapal, dan lain-lain. Luar biasanya mereka bekerja seolah-olah tanpa komando.
Proses pembuatan kapal pinisi yang dilakukan secara tradisional di Tanjung Bira ini memakan waktu yang tidak sebentar. Rata-rata pembuatan kapal membutuhkan waktu antara setengah tahun hingga satu tahun tergantung dari ukuran dan tingkat kerumitan kapal. Setelah kapal selesai dibuat, selanjutnya adalah prosesi penurunan kapal ke laut. Dalam prosesi ini kembali diadakan upacara adat serta penyembelihan hewan seperti kambing atau sapi. Kalau hewan yang dipotong adalah kambing, maka pemotongan dilakukan di atas kapal. Sedangkan jika yang dipotong adalah sapi, cukup dilakukan pemotongan di depan kapal. Penyembelihan hewan dilakukan sebagai wujud rasa syukur atas selesainya pembuatan kapal.
Ini menariknya atau malah ironisnya, kebanyakan pemesan kapal merupakan pemesan dari luar negeri seperti Australia, Austria, Jerman, Rusia, Spanyol, Inggris, Amerika Serikat, Singapura, dan Malaysia. Pengen tahu harga kapalnya? Satu unit kapal dibandrol dengan harga antara 500 juta hingga 2 miliar tergantung dari ukuran dan daya muat kapal. Mau beli? Hehe..
Menarik kan melihat pembuatan kapal pinisi secara langsung? Pokoknya rugi deh kalau sudah sampai di Kabupaten Bulukumba tapi tidak mampir sebentar ke Tana Beru atau Tanjung Bira untuk melihat proses pembuatan kapal pinisi. Semoga kapal pinisi akan terus lestari dan terus mengarungi lautan baik di Indonesia maupun di mancanegara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar